Kegiatan Ilegal Pembakaran Arang Batok Kelapa Milik CV. Rezeki Bersamah di Badegong Ciptakan Polusi Udara, Eksploitasi Petani, dan Ancaman Keselamatan

Kegiatan Ilegal Pembakaran Arang Batok Kelapa Milik CV. Rezeki Bersamah di Badegong Ciptakan Polusi Udara, Eksploitasi Petani, dan Ancaman Keselamatan

Star7tv.com – Simeulue | Praktik ilegal pembakaran arang batok kelapa kembali terungkap di Kabupaten Simeulue. Kali ini, aktivitas berlangsung di kawasan Suak Lahak, Desa Badegong, Kecamatan Teupah Selatan, yang dikelola seorang karyawan pabrik CV. Rezeki Bersamah bernama Alek. Kegiatan ini tidak mengantongi izin usaha maupun izin lingkungan hidup, namun tetap beroperasi secara terbuka.

Lokasi pembakaran hanya berjarak sekitar 100 meter dari jalan nasional, tepat di tikungan dekat jembatan menuju pesisir laut. Kondisi tersebut menimbulkan ancaman serius: asap pekat dari tungku pembakaran kerap menyelimuti badan jalan sehingga membatasi jarak pandang pengguna kendaraan. Situasi ini sangat berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas, terlebih karena jalan di titik itu sempit, menikung, dan berada di atas jembatan.

Modus Lama, Lokasi Baru

Sebelumnya, praktik serupa dijalankan di Desa Baturalang. Setelah mendapat teguran dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan unsur terkait, lokasi itu sempat ditertibkan. Namun bukannya berhenti, pihak pabrik diduga memindahkan aktivitas pembakaran ke lokasi lain dengan berbagai modus, termasuk menggunakan nama pihak ketiga untuk mengelabui aparat.

Fakta di lapangan menunjukkan, pembakaran arang ini merupakan bagian dari bisnis besar pabrik tepung roti CV. Rezeki Bersamah yang berlokasi di Desa Alus-alus. Puluhan ton batok kelapa dari masyarakat dipasok ke lokasi pembakaran. Setelah diolah menjadi arang bernilai tinggi, hasilnya diangkut kembali ke gudang pabrik. Arang tersebut kemudian dipasarkan ke Medan hingga diekspor ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional maupun internasional.

Eksploitasi Petani Simeulue

Ironisnya, pasokan batok kelapa diperoleh dari petani dengan cara yang dianggap merugikan masyarakat. Menurut informasi warga, pabrik secara sepihak mewajibkan petani menyerahkan batok kelapanya tanpa imbalan layak. Jika menolak, harga kelapa putih mereka dipotong sebesar Rp1.000 per kilogram. Praktik semacam ini telah berlangsung lebih dari 15 tahun.

Lebih dari itu, pajak yang seharusnya menjadi kewajiban pabrik justru dipungut dari petani dan agen kelapa. Pemotongan dilakukan langsung dari harga kelapa yang masuk ke pabrik. Bagi masyarakat kecil yang hasil panennya tidak seberapa, potongan tambahan ini jelas sangat menekan. Hal ini dinilai sebagai bentuk perlakuan yang tidak berperikemanusiaan, apalagi pabrik semestinya menjadikan petani sebagai mitra usaha, bukan objek eksploitasi.

Hak Pekerja Diabaikan

Persoalan lain yang juga mencuat adalah kondisi tenaga kerja di pabrik maupun di lokasi pembakaran arang. Para pekerja disebut tidak memiliki jaminan kesehatan maupun jaminan kecelakaan kerja.

Banyak insiden kerja terjadi, bahkan ada pekerja yang dilaporkan mengalami kebutaan mata akibat serpihan batok kelapa, namun pihak pabrik tidak memberikan perhatian atau bantuan medis yang layak.

Hal yang sama dialami pekerja di lokasi pembakaran arang. Setiap hari mereka harus menghirup asap pekat dan berhadapan dengan api tungku yang sangat panas, sehingga sangat rentan terkena penyakit pernapasan dan kerusakan paru-paru. Mirisnya, masker sederhana pun tidak pernah disediakan. Kondisi kerja seperti ini menunjukkan bahwa pabrik sama sekali tidak memiliki empati terhadap keselamatan para pekerjanya.

Jawaban Arogan Alek

Saat dikonfirmasi wartawan pada Sabtu (27/9/2025), Alek mengakui bahwa usaha tersebut miliknya. Namun, ia memberikan jawaban bernada arogan.

“Iya punya saya, kenapa? Saya buka sedikit untuk makan, harus lapor ke Anda? Atas apa saya harus melaporkan mata pencarian saya, Sebagai karyawan CV. Rezeki Bersamah, apa tidak bisa mencari mata pencarian sampingan? Jadi karena saya karyawan pabrik, Anda beranggapan saya bakar untuk pabrik? Ok, saya terima pendapat itu. Garis besar, saya harus hentikan pembakaran karena saya ada sangkutan dengan pabrik.” jawabannya dengan ketus dan nada tinggi.

Tak berhenti di situ, Alek bahkan menuding sorotan terhadap aktivitasnya terjadi karena ia bukan warga asli Simeulue.

“Apa karena saya bukan warga pribumi?” ujarnya, menuding masyarakat Simeulue intoleran terhadap orang luar.

Pernyataan tersebut menuai sorotan, karena faktanya masyarakat Simeulue selama ini dikenal sabar dan toleran. Meski batok kelapa mereka diambil secara cuma-cuma, harga timbang kelapa kerap tidak sesuai, dan berbagai kecurangan dialami, masyarakat tetap bertahan tanpa perlawanan berarti, sementara pabrik terus meraup keuntungan.

Alih-alih menyadari kesalahannya, Alek justru berdalih bahwa aktivitasnya hanya mencontoh kebiasaan warga sekitar.

“Karena saya mencontoh mereka bisa santai saja membakarnya. Apakah pihak lain ada izin lengkap juga? Kalau mereka melengkapi, saya ikuti,” ungkapnya.

Dalam perdebatan panjang, Alek bahkan berdalih bahwa kegiatan tersebut hanyalah usaha sampingan pribadinya, bukan milik pabrik. Meski akhirnya mengaku tidak memiliki izin dan menyatakan akan menutup kegiatan itu, pengakuannya masih diragukan. Pola serupa sudah berulang kali terjadi, termasuk di Desa Baturalang.

Ancaman Lingkungan dan Hukum

Pembakaran arang dalam skala besar tanpa izin jelas melanggar regulasi terkait lingkungan hidup dan tata kelola industri. Selain mencemari udara, kegiatan ini berpotensi merusak ekosistem pesisir di sekitar Badegong. Jika terus dibiarkan, praktik tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi bagi petani kelapa, tetapi juga mencederai keadilan sosial serta melanggar hukum.

Masyarakat Simeulue mendesak pemerintah daerah, khususnya DLH Simeulue, beserta aparat penegak hukum untuk segera melakukan penindakan tegas. Penegakan hukum diperlukan agar praktik industri ilegal ini tidak terus berlangsung dengan memanfaatkan celah dan modus berpindah-pindah lokasi, sekaligus memastikan hak-hak petani dan pekerja terlindungi.

LANDASAN HUKUM

Aktivitas pembakaran ilegal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan hukum:

1. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

  • Pasal 36 ayat (1): “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki izin lingkungan.”
  • Pasal 69 ayat (1) huruf a: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”

2. UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian

  • Pasal 120: “Setiap perusahaan industri wajib memiliki izin usaha industri.”

3. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

  • Pemerintah daerah berwenang menindak pelaku usaha tanpa izin lingkungan dan izin usaha.

4. KUHP Pasal 187

  • Barang siapa dengan sengaja menyebabkan kebakaran atau asap yang membahayakan umum, barang, atau kesehatan manusia dapat dipidana.

Tuntutan Masyarakat:

Masyarakat mendesak Pemkab Simeulue, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera bertindak tegas dengan langkah-langkah berikut:

  1. Melindungi kesehatan masyarakat dari ancaman pencemaran udara.
  2. Menghentikan eksploitasi terhadap petani kelapa oleh jaringan usaha ilegal.
  3. Menjamin industri berjalan sesuai aturan hukum yang berlaku.
  4. Memberikan kebebasan kepada petani untuk menjual batok kelapa tanpa monopoli.
  5. Menutup seluruh praktik pembakaran ilegal yang merugikan masyarakat dan merusak lingkungan.

Liputan Khusus oleh:

Eko Susanto (Bintang Selatan)

Ketua DPD Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWOI) Kabupaten Simeulue

Tanggal: Sabtu, 27 September 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *