Jakarta – Kathmandu – Paris. 11 September 2025 | Gelombang demonstrasi tengah mengguncang berbagai negara. Dimulai dari Indonesia, arus protes kini merembet ke Nepal, bahkan menjalar hingga ke Eropa, khususnya Prancis. Meski dipicu oleh kondisi lokal yang berbeda dari ketimpangan ekonomi, tuduhan korupsi, hingga pembatasan ruang digital ada satu benang merah yang menyatukan: simbol budaya populer berupa bendera bajak laut dari anime One Piece, yang menjelma ikon perlawanan generasi muda di berbagai belahan dunia.
Fenomena ini mencerminkan wajah baru politik global: gerakan sosial yang lahir dari keresahan rakyat, menyatu dengan kekuatan media sosial, dan menemukan daya tarik emosional melalui simbol-simbol budaya pop yang universal.
Indonesia: Api Pertama yang Menyala
Di Indonesia, gejolak protes mulai terasa sejak akhir Agustus 2025. Ribuan mahasiswa, buruh, hingga masyarakat sipil tumpah ke jalan di Jakarta, Medan, Surabaya, hingga Makassar. Akar persoalannya tidak tunggal.
Pertama, kebijakan ekonomi yang dianggap pro-elit. Publik menyoroti kenaikan tunjangan dan fasilitas pejabat di tengah kondisi masyarakat yang masih bergulat dengan harga kebutuhan pokok. Kedua, isu pengangguran yang kian mengkhawatirkan generasi muda. Ketiga, ketidakpuasan terhadap transparansi penggunaan anggaran negara.
Di tengah gelombang protes itu, sebuah simbol mengejutkan muncul: bendera Jolly Roger, lambang kru Topi Jerami dalam serial One Piece. Bendera itu dikibarkan di berbagai titik demonstrasi, dari depan kampus hingga jalan protokol.
“Bagi kami, Topi Jerami adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Sama seperti Luffy melawan para penguasa lalim, rakyat Indonesia juga ingin melawan kesewenang-wenangan,” ujar seorang mahasiswa yang membawa bendera itu.
Foto dan video aksi dengan bendera anime itu cepat viral di media sosial. Tagar #StrawHatRebellion bahkan sempat menjadi trending di Indonesia.
Nepal: Dari Media Sosial ke Jalanan
Gelombang itu tidak berhenti di Indonesia. Hanya beberapa pekan kemudian, Nepal menjadi saksi protes besar yang dipimpin oleh generasi muda Gen Z.
Pemicunya berbeda: pemerintah Nepal memberlakukan pembatasan akses media sosial yang dianggap membatasi kebebasan berekspresi. Langkah itu menambah panjang daftar kekecewaan publik terhadap praktik korupsi dan ketimpangan sosial-ekonomi yang telah lama dirasakan.
Aksi massa pun pecah di Kathmandu dan sejumlah kota besar. Ribuan pemuda turun ke jalan, banyak di antaranya membawa poster dan spanduk bergambar simbol Jolly Roger. Bendera anime yang lahir di Jepang, meledak di Indonesia, kini berkibar di jalanan Nepal.
Namun, situasi di Nepal dengan cepat memburuk. Bentrokan keras antara aparat keamanan dan pengunjuk rasa pecah. Laporan awal menyebut puluhan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Organisasi hak asasi internasional mengeluarkan pernyataan keras, mengecam penggunaan peluru tajam terhadap demonstran.
“Generasi muda Nepal tidak hanya menuntut akses digital, tapi juga keadilan sosial yang lebih luas,” ungkap seorang aktivis HAM di Kathmandu. “Simbol One Piece hanyalah jembatan, tetapi tuntutannya nyata: demokrasi dan kesetaraan.”
Prancis: Solidaritas dari Jantung Eropa
Gelombang protes juga menemukan gaungnya di Eropa. Di Prancis, kelompok mahasiswa, aktivis hak sipil, hingga komunitas diaspora Asia menggelar aksi solidaritas di Paris dan Lyon.
Aksi ini tidak sebesar di Asia, namun tetap mendapat perhatian karena menegaskan bahwa keresahan generasi muda kini melintasi batas negara. Poster bertuliskan kutipan dari One Piece, seperti “We are not afraid of tyrants”, muncul di jalanan.
Seorang mahasiswa Prancis yang ikut aksi menyebutkan, “Kami tidak hanya mendukung teman-teman di Indonesia atau Nepal, tapi juga melawan ketidaksetaraan di Eropa. Simbol ini melintasi bahasa dan budaya. Ia mewakili semangat global.”
Budaya Pop sebagai Bahasa Universal
Fenomena penggunaan simbol One Piece dalam demonstrasi lintas negara mengundang perhatian para pengamat. Bagi generasi muda, anime bukan sekadar hiburan, melainkan bahasa bersama.
Serial One Piece bercerita tentang kelompok bajak laut yang menentang otoritas korup dan berjuang demi kebebasan. Tidak heran jika simbol Jolly Roger tengkorak dengan topi jerami mudah diadopsi sebagai representasi perlawanan terhadap ketidakadilan.
“Budaya pop menjadi jembatan solidaritas global. Di era media sosial, simbol seperti ini bisa mempercepat penyatuan pesan dan membuat gerakan lebih menarik bagi publik luas,” jelas seorang sosiolog di Jakarta.
Tuntutan yang Sama, Meski Berbeda Konteks
Meski konteks lokal berbeda, ada sejumlah tuntutan yang sama di ketiga negara ini:
- Akuntabilitas pemerintah: Tuntutan transparansi dan pemberantasan korupsi.
- Keadilan sosial-ekonomi: Penolakan terhadap kebijakan yang dianggap hanya menguntungkan elit.
- Kebebasan berekspresi: Perlawanan terhadap pembatasan ruang digital maupun hak berkumpul.
Di Indonesia, protes berfokus pada kebijakan ekonomi. Di Nepal, soal kebebasan digital. Sementara di Prancis, isu solidaritas berpadu dengan protes terhadap ketimpangan Eropa. Namun, ketiganya berpijak pada keresahan yang sama: generasi muda yang merasa dikhianati sistem.
Resonansi dan Tantangan
Fenomena ini juga memunculkan tantangan baru. Viralitas di media sosial mempercepat penyebaran simbol dan pesan, tetapi juga membuka ruang bagi misinformasi. Sejumlah video protes yang beredar ternyata berasal dari peristiwa lama atau dipelintir untuk memanaskan suasana.
“Gerakan ini sahih dan nyata, tapi kita perlu hati-hati terhadap penyebaran informasi palsu. Jika tidak, protes bisa kehilangan legitimasi,” ujar seorang pengamat media digital di Paris.
Di sisi lain, pemerintah di negara-negara terkait masih mencari cara merespons. Indonesia menyerukan ketertiban sambil berusaha membuka dialog. Nepal justru memilih pendekatan represif, yang memicu kritik global. Sementara Prancis membiarkan aksi solidaritas berlangsung selama damai.
Gelombang Yang Belum Reda
Apakah gerakan ini akan mereda atau justru meluas? Belum ada kepastian. Namun satu hal jelas: simbol One Piece telah memberi warna baru dalam gerakan sosial global.
Generasi muda, yang kerap diremehkan, kini menunjukkan kekuatan kolektifnya. Dengan bantuan media sosial dan bahasa universal budaya pop, mereka berhasil menjadikan isu-isu lokal sebagai bagian dari narasi global.
Dari jalanan Jakarta, lorong Kathmandu, hingga alun-alun Paris, bendera bajak laut anime itu berkibar. Ia menandai babak baru dalam sejarah protes dunia ketika amarah sosial, teknologi digital, dan imajinasi populer bersatu dalam satu arus besar perubahan.
Oleh: Eko Susanto (Bintang Selatan) Jurnalis Indonesia.